“Di tingkat pusat, Inspektorat CPOB berada di Direktorat Pengawasan Produksi ONPP. Untuk di UPT, terdapat pada 13 Balai Besar POM dan 6 Balai POM sesuai dengan catchment area pelaksanaan pengawasan fasilitas produksi obat, bahan obat, produk biologi, dan produk khusus (radiofarmaka, unit transfusi darah/UTD, dan lain-lain),” kata Deputi Bidang Pengawasan Obat Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif (Deputi 1), Rita Mahyona.

Rita menyampaikan, ada 92 Inspektur CPOB yang terlibat dari pusat maupun 11 UPT yang melaksanakan pengawasan sejumlah fasilitas produksi di Indonesia. Namun demikian, terdapat UPT yang telah memiliki sarana produksi di catchment area dan belum memiliki Inspektur CPOB dan/atau lead inspector sehingga belum dapat melaksanakan inspeksi mandiri. Hal ini juga yang melatarbelakangi pembentukan inspektur CPOB nasional.

“Tugas dan kewenangan inspektur CPOB nasional, antara lain melaksanakan inspeksi CPOB di luar wilayah pengawasannya, yang tidak memiliki atau kekurangan inspektur CPOB atau lead inspector, serta berperan aktif dalam peningkatan kompetensi inspektur CPOB di seluruh indonesia,” ucap Rita.

Lebih lanjut, Rita Mahyona berharap agar para inspektur CPOB memiliki sense of crisis. Mereka harus proaktif untuk mendorong percepatan kesiapan industri-industri lokal dalam memenuhi kebutuhan produksi obat nasional.

“Kita berkaca pada zaman COVID-19. BPOM melakukan upaya proaktif dalam mendorong industri lokal sehingga mampu memproduksi vaksin dalam negeri. Kita harus proaktif agar para industri dapat memenuhi CPOB sehingga dapat dilakukan validasi proses dan penyesuaian dari industri farmasi,” tegas Rita.

Kegiatan ini berlangsung selama 2 hari (6–7/2/2025) dihadiri oleh inspektur CPOB pusat, perwakilan dari Direktorat Pengawasan Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan, serta Kepala UPT dan perwakilan inspektur CPOB UPT yang di wilayahnya terdapat industri farmasi, UPT yang hanya ada UTD, dan industri bahan baku obat (BBO) eksipien yang telah tersertifikasi CPOB.

YouTube player