RAKYAT NEWS, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Economic and law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa pemerintah akan menghadapi kesulitan dalam melunasi utang jatuh temponya sebesar Rp 800 triliun di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.

Menurut Yudhistira, sebagian besar utang tersebut berbentuk surat berharga negara (SBN). Data dari Kementerian Keuangan per 30 April 2024 menunjukkan bahwa utang jatuh tempo tahun depan mencapai Rp 705,5 triliun dari SBN dan Rp 100,19 triliun dari utang pinjaman.

“Pak Prabowo dan Gibran akan menghadapi rata-rata utang jatuh tempo 2-3 tahun pertama sekitar Rp 700-800 triliun. Masalahnya sebagian besar utang itu berbentuk SBN,” ujarnya dalam diskusi virtual, Kamis (12/9/2024).

Yudhistira juga menyatakan bahwa renegosiasi utang yang berbentuk SBN akan sulit dilakukan karena krediturnya bervariasi mulai dari lembaga keuangan, bank, hingga investor asing yang tersebar di berbagai negara.

“Surat utang (dalam SBN) ini yang paling sulit dilakukan renegosiasi utang,” kata dia.

Pemerintah kemungkinan hanya dapat melunasi utang berbentuk pinjaman, namun jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan utang SBN. Utang jatuh tempo ini menjadi salah satu beban fiskal yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya kepada pemerintahan Prabowo Subianto.

Menurut laporan Celios berjudul ’10 Lubang Fiskal Warisan Pemerintahan Joko Widodo’, pembiayaan utang meningkat drastis dari Rp 255,73 triliun pada 2014 menjadi Rp 775,87 triliun pada 2025 di bawah kepemimpinan Jokowi.

Salah satu penyebab lonjakan utang adalah prioritas pembangunan proyek besar yang berpotensi memberatkan anggaran negara di masa depan, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Anggaran infrastruktur juga meningkat tajam dari Rp 256,11 triliun pada 2015 menjadi Rp 391,7 triliun pada 2023. Peningkatan anggaran infrastruktur terus terjadi selama 8 tahun terakhir, mencapai puncaknya pada 2021 pasca pandemi dengan alokasi Rp 403,3 triliun.