RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Pertemuan negara-negara anggota G20 di India pada Sabtu, 22 Juli kemarin, gagal mencapai mufakat untuk menghentikan secara bertahap penggunaan energi fosil.

Kegagalan tersebut lantaran ada protes dari negara-negara produsen dan membuat jengkel para ilmuwan dan aktivis lingkungan. G20 dinilai lamban dalam mencegah pemanasan global, bahkan ketika saat ini cuaca ekstrem menghantam Amerika Serikat (AS) hingga China.

Negara-negara anggota G20 dinilai bertanggung jawab atas lebih dari tiga perempat emisi global. Karena itu, upaya kumulatif kelompok untuk mendekarbonisasi sangat penting dalam perang global melawan perubahan iklim.

Jumat, 21 Juli lalu, Reuters menerima salinan draf yang berisi pentingnya upaya menyetop bahan bakar fosil secara bertahap, sejalan dengan keadaan nasional yang berbeda.

Namun, pejabat G20 pada Sabtu kemarin malah membuat rilis tentang kekhawatiran beberapa negara anggotanya terkait rencana itu. Pernyataan ini tidak ada dalam draf sebelumnya.

“Negara lain memiliki pandangan berbeda tentang masalah yang akan ditangani oleh teknologi pengurangan dan penghilangan masalah tersebut,” kata Menteri Ketenagalistrikan India R.K. Singh, seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.

Penggunaan bahan bakar fosil menjadi tema perdebatan dalam G20 kali ini. Rencananya, para anggota bakal mengeluarkan komunike bersama akhir pertemuan G20.

Namun, hal tersebut batal karena perbedaan suara terkait pengurangan energi fosil itu, termasuk soal target peningkatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2020.

Singh mengatakan beberapa negara ingin menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) daripada pengurangan bertahap bahan bakar fosil.

Namun, ia tak menyebut negara mana saja yang mengusulkan ide itu.

Adapun produsen bahan bakar fosil utama yang merupakan anggota G20 antara lain Arab Saudi, Rusia, Cina, Afrika Selatan, dan Indonesia. Negara-negara ini diketahui menentang tujuan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan dekade ini.