Nathan juga menyampaikan terima kasih atas dukungan seluruh pihak yang berperan dalam pengembangan kedua produk obat ini. “Ini semua [dapat terwujud] atas dukungan BPOM, Kementerian Kesehatan, asosiasi dokter-dokter kanker [Perhimpunan Onkologi Indonesia] yang berusaha menyediakan pengobatan terbaik untuk rakyat Indonesia,” lanjut Nathan.

Dengan terbitnya izin edar untuk 2 obat kanker ini, diharapkan dapat mengatasi keterbatasan akses pada obat inovatif di Indonesia. Terutama sebagai terapi untuk penyakit kanker, yang saat ini masih menjadi salah satu penyakit penyebab kematian dengan angka yang terbilang besar di Indonesia.

Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan, Dita Novianti Sugandi Argadiredja, menyebut bahwa 10 juta kematian di Indonesia disebabkan karena kanker.

“Indonesia mengalami keterbatasan akses pada obat inovatif, hanya 9% (45 obat) dari 460 obat inovatif yang sudah di-approve dan ada di Indonesia Jika bicara soal obat kanker, kita masih perlu akses untuk terapi inovasi [pengobatan kanker], tidak hanya dari sisi ketersediaan tapi juga affordability-nya [terjangkau],” tuturnya.

Dalam sambutannya, Kepala BPOM juga menggarisbawahi bahwa kanker bukan hanya menjadi keprihatinan di Indonesia, namun juga dunia.

“Time Magazine bahkan khusus membahas tentang kanker 8 tahun lalu. Ini menunjukkan betapa ilmuwan dan dokter masuk di fase frustasi dalam mengatasi kanker,” ucap Taruna.

Ia menjelaskan bahwa segala upaya dilakukan untuk mengupayakan terapi kanker, mulai dari tingkat molekul, in vitro, dan terapi klinis. Ini disebabkan kanker sangat berbeda dengan penyakit lainnya karena memiliki reseptor dan antigen yang dapat berbeda-beda jumlah dan jenisnya antar pasien.

“Karena itu, BPOM berusaha mempercepat akses masyarakat Indonesia pada obat inovatif. Saat ini, obat inovatif baru mendapatkan izin edar setelah 300 hari kerja (1 tahun 6 bulan). Kami akan upayakan dipercepat menjadi 120 hari kerja,” papar Taruna.

YouTube player