RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Pengusaha menyoroti rencana Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (PP Kesehatan) yang semakin menekan industri.

RPMK yang sedang disiapkan mencakup persyaratan kemasan rokok yang harus polos tanpa logo merk. Menurut Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, industri rokok sudah terbebani dengan 480 peraturan, baik yang bersifat fiskal maupun non fiskal.

Kebanyakan peraturan tersebut berfokus pada pembatasan. Keadaan semakin sulit bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) karena dampak kontraksi akibat pandemi COVID-19.

“Perlu kami sampaikan, IHT telah diatur melalui banyak regulasi. Kami mencatat ada lebih dari 480 peraturan di berbagai tingkatan yang mayoritas berisi pembatasan. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, IHT juga mengalami kontraksi akibat pandemi dan kebijakan fiskal yang eksesif,” katanya, Sabtu (2/11/2024), mengutip detikFinance.

“Dengan munculnya pengaturan baru seperti Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2024 yang antara lain membatasi nikotin dan tar, melarang bahan tambahan di produk tembakau dan diberlakukannya standarisasi kemasan, akan membuat produk kami berupa kretek menjadi terpuruk,” sambung dia.

Penurunan penjualan rokok legal berdampak pada berkurangnya jumlah pekerja karena menurunnya permintaan. Akibatnya, permintaan tembakau dan cengkeh dari petani menurun sehingga harga jualnya ikut turun.

Dampak lainnya adalah penurunan penerimaan negara karena menurunnya permintaan. Oleh karena itu, Henry berharap pemerintah mempertimbangkan ulang penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 yang dianggap sangat berlebihan.

“Hal lainnya, larangan penjualan rokok pada radius 200 meter dari satuan pendidikan memiliki dampak yang sangat luas. Apalagi satuan pendidikan ini banyak bentuknya. Selain formal juga ada nonformal dan informal. Dengan berlakunya larangan tersebut, dampaknya bisa kemana-mana,” beber Henry.

Pedagang eceran yang berlokasi di sekitar institusi pendidikan akan mengalami dampak paling besar karena tidak bisa lagi menjual produk tembakau di tempat tersebut. Larangan ini akan berdampak besar pada pedagang kecil yang bergantung pada penjualan produk tembakau.

“Menurut kami, larangan penjualan juga akan menyebabkan kesulitan operasional. Padahal, rokok adalah produk legal yang dibuktikan dengan dikenakannya cukai,” imbuhnya.

Henry mencatat bahwa banyak pihak telah menentang berbagai aturan yang penuh dengan larangan, termasuk standarisasi kemasan. Ini menunjukkan bahwa regulasi tersebut belum memenuhi harapan masyarakat.

“Karena itu, kami berhadap, terutama kepada Presiden dan jajaran kabinet baru, agar pengaturan yang memberatkan IHT di-hold terlebih dahulu, didiskusikan kembali, sampai pada titik keseimbangan pengaturan yang mengakomodasi semua pihak,” tutupnya.