Paylater Untuk Gaya Hidup : Hutang Warga RI ‘Bengkak’ Capai Rp 30 Triliun
RAKYAT NEWS, JAKARTA – Akses pendanaan yang mudah sangat penting bagi sebagian besar masyarakat. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masyarakat Indonesia semakin suka menggunakan layanan paylater untuk berhutang.
Total utang yang harus segera dilunasi mencapai Rp 30,36 triliun pada bulan November 2024, naik dari bulan sebelumnya sebesar Rp 29,66 triliun.
Data dari Pefindo Biro Kredit (IdScore) menunjukkan bahwa fasilitas Pay Later sering digunakan untuk pembelian produk sekunder sebesar 41,9%, seperti transaksi melalui QRIS dan lainnya.
Selain itu, 33% dari pengguna layanan ini membeli di platform e-commerce, 21,1% membeli tiket untuk bepergian, dan 4% menggunakan layanan tersebut langsung di toko.
Direktur Utama IdScore, Tan Glant Saputrahadi, menyatakan bahwa saat ini kebanyakan orang menggunakan paylater hanya untuk kebutuhan sekunder atau gaya hidup.
“Saat ini kemungkinan besar kebutuhan paylater adalah untuk kebutuhan sekunder atau untuk gaya hidup saja,” ungkap Direktur Utama IdScore Tan Glant Saputrahadi dalam media gathering di Jakarta, dikutip Minggu (16/2/2025).
Sementara itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan bahwa layanan paylater memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mendapatkan pembiayaan ketika situasi ekonomi sulit.
“Mereka tidak punya uang, untuk memenuhi kebutuhan ataupun gaya hidup. BNPL menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat,” ungkap Nailul Huda, dikutip dari CNBC Indonesia.
Ia menambahkan bahwa para generasi muda yang mengalami beban finansial dari orang tua mereka, atau yang disebut sebagai generasi sandwich, juga dapat terbantu dengan adanya layanan BNPL.
“Generasi muda kita juga banyak yang sandwich generation di mana mereka mau pinjam ke keluarga juga tidak mungkin. Pilihannya ya melalui teknologi, salah satunya BNPL. Selain itu, bagi masyarakat unbanked dan underbanked, mereka sulit mengakses perbankan,” terangnya.
Meskipun demikian, Huda menyoroti kemungkinan tingginya risiko gagal bayar dan dampak negatif lainnya seperti pemindahan alokasi pengeluaran untuk membayar bunga dari BNPL.
Data menunjukkan bahwa kredit macet di BNPL pada November 2025 mencapai 3,21%, yang meski turun dari titik tertinggi 6,66% pada bulan September 2023.
Permasalahan daya beli masyarakat menjadi topik hangat sejak pertengahan tahun 2024 dengan berbagai indikator menunjukkan penurunan daya beli masyarakat.
Beberapa indikator mencakup deflasi selama lima bulan berturut-turut (Mei-September 2024), penurunan penjualan mobil, kecenderungan menghabiskan tabungan, berkurangnya tabungan masyarakat, penurunan kelas menengah, dan penurunan penjualan ritel di beberapa sektor.
Penurunan daya beli juga berdampak pada aktivitas manufaktur Indonesia sebagai Indeks PMI Manufaktur terkoreksi selama lima bulan berturut-turut (Juli-November 2024).

Tinggalkan Balasan