Riefky menambahkan bahwa sektor tekstil diperkirakan akan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak karena kondisinya yang belum pulih.

Menyikapi hal ini, Riefky menyarankan pemerintah untuk bersiap menghadapi perang dagang dengan memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan standar produk agar Indonesia dapat menjadi alternatif yang lebih menarik bagi pasar global.

“Dari trade war jilid pertama kemarin, Indonesia tidak terlalu mendapatkan keuntungan baik dari sisi relokasi investasi atau trader version, ini sedikit sekali yang masuk ke Indonesia dibanding misalnya masuk ke Meksiko, ke Vietnam atau ke Taiwan. Kenapa bisa demikian? karena Indonesia ini juga tidak terlalu banyak produk yang kemudian siap menjadi alternatif untuk produk-produk AS dan China,” jelasnya.

Selain itu, iklim investasi di Indonesia memang tidak begitu menarik sehingga ketegangan antara dua negara ekonomi terbesar tersebut tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia.

Sementara untuk sektor yang akan terdampak, Riefky melihat utamanya adalah sektor tekstil yang kondisinya masih belum pulih dan dapat semakin terpuruk.

“Sektor mana yang akan terdampak, nampaknya cukup seragam ya. Sektor-sektor yang memang tingkat perdagangan globalnya tinggi, tekstil, karet, pakaian dan berbagai macam produk dan komoditas ini akan cukup terdampak,” terangnya.

Oleh karena itu, Riefky berpendapat bahwa pemerintah seharusnya sudah siap menghadapi perang dagang kali ini. Misalnya dengan memperbaiki iklim investasi serta meningkatkan standar produk agar dapat menjadi pengganti yang potensial.

“Tentu Indonesia harus meningkatkan kesiapannya dari iklim investasi, lalu kemudian membuka arus perdagangan karena Indonesia ini cukup protektif baik dari sisi perdagangan sampai investasi. Nah ini kita harus lebih open agar kemudian windfall atau spill off dari trade war antara AS dan China bisa masuk ke Indonesia,” pungkasnya.

YouTube player