RAKYAT.NEWS, MAKASSAR – Industri pertambangan nikel didorong untuk menerapkan teknologi hijau guna mengurangi dampak pemanasan global dalam transisi energi berkelanjutan. Diperkirakan oleh Badan Energi Internasional (IEA), pada tahun 2030, permintaan nikel akan meningkat hingga 65%.

Sebagai produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia harus memastikan bahwa industri pertambangan tidak hanya fokus pada peningkatan produksi, namun juga pada praktik penambangan yang berkelanjutan untuk menjaga sumber daya alam.

PT Vale Indonesia Tbk telah memulai langkah-langkah untuk menerapkan transisi energi berkelanjutan di pabrik pengolahan bijih nikel miliknya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan penggunaan biomassa sebagai bahan reduktor di pabrik pengolahan tersebut untuk mendukung transisi energi nasional.

Menurut Head of Institutional Relations and Permit PT Vale, Budiawansyah, mengaku bahwa pihaknya telah merencanakan penerapan transisi energi menggunakan biomassa sejak tahun 2023 dan ditargetkan akan sepenuhnya berjalan pada tahun 2027.

“Penggunaan biomassa sudah diterapkan dengan mengganti reduktor di kiln menjadi biomassa, saat ini kami telah melakukan trial hingga 50% biomassa sebagai redaktan pada tanur pereduksi dan 20% biomassa sebagai burner pada coal mill. Pada 2024 ini, kami akan melakukan long trial 10% biomass sebagai redaktan pada tanur pereduksi,” tuturnya dalam Talk Show “Energy Transition For Accelerating NDC 2030 Target” di Balikpapan, Jumat (20/9/2024).

Selain itu, PT Vale juga telah mengganti bahan bakar di pengering dan kiln menjadi LNG serta melakukan pemulihan off-gas, yang telah diimplementasikan dalam studi FEL 1 untuk keduanya.

“Dalam uji coba terbaru, kami berhasil memanfaatkan hingga 50% biomassa di tanur pereduksi dan 20% sebagai burner di coal mill,” tuturnya.

Selain itu, PT Vale telah mengoptimalkan penggunaan energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan mengoperasikan tiga PLTA yang memenuhi 100% kebutuhan energi untuk tanur peleburan.