RAKYAT NEWS, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan aksi boikot terhadap kenaikan PPN 12% menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi di mana pendapat masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dapat diungkapkan.

Protes tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.

“Ya kalau itu namanya negara demokrasi, ada yang setuju, ada yang tidak setuju,” kata Airlangga, Jakarta Pusat, dikutip detiknews, Jumat (20/12/2024).

Airlangga juga menyoroti demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok pada Kamis (19/12) yang menentang kenaikan PPN 12% mulai tahun 2025.

Selain berdampak pada barang mewah, kebijakan tersebut dinilai akan memiliki konsekuensi lebih luas menurut pemerintah.

“Ya itu namanya negara demokrasi,” ucap Airlangga.

Di media sosial, terdapat ajakan untuk memboikot pembayaran pajak sebagai bentuk penolakan terhadap kenaikan tarif PPN menjadi 12% yang efektif pada tahun 2025.

“Jika PPN dipaksakan naik 12%, mari kita boikot bayar pajak. Jadi pemerintah kok bisanya cuma malakin rakyat,” cuit akun @*ala*4*ar* di X atau Twitter.

Akun tersebut menyarankan agar boikot pajak dilakukan dengan mendukung usaha kecil seperti warung-warung. Selain dari tidak terkena PPN, tindakan tersebut juga dianggap dapat membantu tetangga dan pengusaha mikro kecil menengah (UMKM).

“Kalau gaji emang nggak bisa menghindari pajak (karena otomatis sudah dipotong). Bisa disiasati dengan meminimalisir belanja di mall, lebih support pengusaha kecil. Misal, cari makan dan ngopi di warung rumahan aja. Masih banyak kok yang bebas pajak,” ucapnya.

Beberapa netizen mengingatkan bahwa boikot pajak penghasilan (PPh) menjadi sulit karena potongan pajak sudah dilakukan sebelum gaji diterima. Mereka menyarankan agar fokus pada boikot terhadap barang-barang yang terkena PPN.

YouTube player